Senin, 20 Juni 2016

PROSTITUSI ARTIS ONLINE DALAM KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL (Jurnal Dosen)

 PROSTITUSI ARTIS ONLINE DALAM KONSTRUKSI REALITAS SOSIAL
(Studi Kasus Tertangkapnya Artis AA Dalam Bingkai Harian Sriwijaya Post)

Sumarni Bayu Anita
Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka Palembang
sb.anita@gmail.com


ABSTRAK

Sejak mencuatnya isu prostitusi artis online, media massa Indonesia ramai menjadikannya sebagai bahasan utama. Selama lima hari berturut-turut, Minggu-Kamis (10-14/5/2015), salah satu surat kabar besar di Sumatera Selatan, Sriwijaya Post menjadikan pemberitaan prostitusi artis online berada di halaman depan, tiga di antaranya sebagai headline. Konstruksi realitas sosial dunia artis yang dekat dengan komodifikasi tubuh, menjadikan ‘isu lama’ ini terbaharui kembali. Kontribusi media massa dalam mengangkat, membingkai, dan mewacanakannya, tidak dipungkiri memberikan input yang berarti di pikiran penonton, pendengar, dan pembaca medianya. Dari sini, pemberitaan prostitusi artis online diteliti berdasarkan analisis konstruksi realitas sosial berdasarkan teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann. Dari analisis ini, diperoleh hasil temuan penelitian bahwa melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni objective reality, symbolic reality, dan subjective reality, pemberitaan prostitusi artis online turut menjadi tugas moral para insan media dalam melaksanakan etika komunikasi. Pesan-pesan yang disampaikan tidak sekedar fenomena, tetapi sebagai ikon dari pemaknaan konstruksi sosial yang selama ini ada di masyarakat. Artis adalah sosok pekerja seni yang kehidupannya juga tidak lepas sebagai bahan cerita dari seni pemberitaaan itu sendiri.

Kata Kunci: prostitusi online, artis, konstruksi, realitas sosial, surat kabar, etika komunikasi

A. PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang
Berita tertangkap basahnya seorang artis berinisial AA, Jumat (8/5/2015) malam di sebuah hotel bintang lima di kawasan Jakarta Selatan yang sedang melayani pelanggan yang tak lain polisi yang sedang menyamar sontak mengejutkan banyak orang (Sriwijaya Post, 10/5/2015). Peristiwa ini tentu langsung menyedot perhatian masyarakat dan media yang tak pelak langsung menjadikannya sebagai berita yang harus menjadi agenda utama pembicaraan. Tak ingin ketinggalan dengan media televisi, radio dan internet, media cetak pun menjadikan berita ini sebagai headline mereka. Begitu pula dengan Sriwijaya Post, salah satu media cetak terkemuka di Sumatera Selatan yang menjadikan berita tentang prostitusi artis online sebagai pembahasan utama selama 5 hari berturut-turut, Minggu-Kamis (10-14/5/2015).
Konstruksi realitas sosial dunia artis yang dekat dengan komodifikasi tubuh, menjadikan ‘isu lama’ ini dapat terus terbaharui kembali. Kontribusi media massa dalam mengangkat, membingkai, dan mewacanakannya, tidak dipungkiri memberikan input yang berarti di pikiran penonton, pendengar, dan pembaca medianya. Dari sini, pemberitaan prostitusi artis online akan diteliti berdasarkan analisis konstruksi realitas sosial berdasarkan teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann. Istilah konstruksi sosial atas realitas sendiri didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami secara subjektif (Nurhadi, 2015:120).
Dari hasil penelitian ini kemudian akan coba dipahami secara kritis mengenai keterkaitan antara konstruksi realitas prostitusi artis online dengan persoalan privasi dalam etika komunikasi yang dalam hal ini dilakukan oleh media, khususnya oleh media cetak harian Sriwijaya Post. Benarkah terjadi penggusuran nilai privasi dalam praktik komunikasi seperti yang dikeluhkan oleh para artis Indonesia dewasa ini? Bahwa harusnya pemberitaan prostitusi artis online turut menjadi tugas moral para insan media dalam melaksanakan etika komunikasi. Atau hanya akan selalu menjadi bahan ‘hiburan’ kita untuk sejenak melupakan masalah pelik dalam hidup kita sendiri?

A.2. Teori Konstruksi Realitas Sosial
Kata-kata Aristoteles ‘cogito ergo sum’ yang berarti “saya berpikir karena itu saya ada” merupakan dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Ditulis Nurhadi (2015:120-121), pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan’. Menurut Vico, bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya.
Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme, yakni konstruktivisme radikal, realisme hipotesis, dan konstruktivisme biasa. Dari ketiga macam konstruktivisme tersebut, terdapat kesamaan di mana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann disebut dengan Teori Konstruksi Sosial.
Berger dan Luckmann (Nurhadi, 2015:122) mengatakan, terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui tiga tahapan (momen), yakni eksternalisasi, objectivasi, dan internalisasi. Selain itu, proses dialektika ini juga muncul dalam proses konstruksi yang menurut Berger dan Luckmann berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni objective reality, symbolic reality, dan subjective reality. Berdasarkan tiga bentuk realitas itulah, maka peneliti mencoba menganalisis bagaimana pemberitaan prostitusi artis online yang muncul pada awal bulan Mei 2015 lalu itu dikonstruksi oleh media yang kemudian dikonsumsi oleh masyarakat.

A.3. Metodologi Penelitian
Berdasarkan tulisan Creswell (2010), maka penelitian ini termasuk penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan strategi penelitiannya adalah studi kasus. Hal ini karena peneliti ingin memahami bagaimana konstruksi realitas sosial terjadi atas peristiwa prostitusi artis online ditinjau dari kasus tertangkap basahnya artis AA pada Jumat (8/5/2015) dengan mucikari RA yang kemudian pemberitaannya dimuat di surat kabar Sriwijaya Post. Data primer dari penelitian ini sendiri adalah surat kabar Sriwijaya Post sebanyak 5 edisi berturut-turut, yakni edisi Minggu-Kamis (10-14/5/2015) dengan mengambil berita-berita yang mengangkat tema tentang prostitusi artis online.
Gambar 1. Lima Edisi Sriwijaya Post (Minggu-Kamis, 10-14/5/2015)

B. PEMBAHASAN
Usai pemaparan latar belakang, teori dan metodologi di atas, berikut ini peneliti akan masuk dalam bagian pembahasan penelitian. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti akan membongkar isu mengenai prostitusi artis online ini melalui Teori Konstruksi Sosial-nya Berger dan Luckmann yang menekankan pada bagian  interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni objective reality, symbolic reality, dan subjective reality.
Adapun pintu masuk dalam pembongkarannya menggunakan berita-berita dengan tema prostitusi artis online yang dimuat di Sriwijaya Post selama lima edisi berturut-turut, Minggu-Kamis, 10-14/5/2015. Sriwijaya Post sendiri adalah sebuah surat kabar harian yang terbit di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. Surat kabar yang beralamat di Jl. Alamsyah Ratu Prawira Negara No. 120 Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat I Palembang, Telp (0711) 440088 ini termasuk dalam grup Kompas Gramedia dan sudah terbit sejak tahun 1974.
B.1. Objective Reality
Objective reality merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta (Nurhadi, 2015:123). Dari definisi ini kita diajak untuk memahami terlebih dahulu konsep dasar atas setiap isu yang dibahas. Membahas tentang prostitusi artis online berarti kita harus memahami kompleksitas definisi atas realitas terhadap tiga konsep utama masalah ini terlebih dahulu, yaitu konsep prostitusi, artis dan online. Baru kemudian membingkai ketiganya dengan fokus studi kasus yang dibahas kali ini.
Konsep pertama, yakni prostitusi. Definisi prostitusi adalah melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan yang bukan istri atau suaminya, yang dilakukan ditempat-tempat tertentu (lokalisasi, hotel, tempat rekreasi dan lain-lain), yang pada umumnya mereka mendapatkan uang setelah melakukan hubungan badan (Dewi, 2012:81). Para penjual diri tersebut sering disebut WTS (Wanita Tuna Susila). Mereka adalah para wanita yang tidak mempunyai susila (adab, akhlak, kesopanan). Sedang para pembelinya disebut hidung belang, yaitu para pembeli sex yang menghambur-hamburkan uangnya demi terpuaskannya nafsu birahi. Lokalisasinya disebut kompleks pelacuran atau ajang berkumpul dalam melakukan pesta sexnya. Adapun orang yang menampung para pelacur dan hidung belang dalam melakukan transaksi sexnya disebut mucikari atau germo. Orang inilah yang amat mendukung terlaksananya pesta maksiat itu. Ia mendapat imbalan dari para pelacur dari penghasilannya, sekian persen.
Jika ditinjau dari Al-Quran, berikut ini beberapa ayat yang berkaitan dengan prostitusi (Oktaviani, 2013), yaitu:
1.      QS. Al-Isro' [17]: 32
Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
2.      QS. An-Nuur [24]: 30
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.
3.      QS. An-Nuur [24] : 26
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).
4.      QS. An-Nuur [24] : 33
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.

Konsep kedua, yakni artis. Artis atau seniman adalah seseorang yang menciptakan sesuatu yang oleh masyarakat diakui sebagai seni, antara lain musik, puisi, lukisan, patung, film, dan lain-lain (Anita, 2013:461). Hasil penelitian Anita (2013) mengungkapkan bahwa ada proses tertentu yang harus dilalui seseorang sampai akhirnya ia bisa disebut sebagai artis. Berikut ini skema proses hubungan artis dan film di Indonesia, yaitu:
Gambar 2. Skema Proses Hubungan Artis dan Film di Indonesia (Anita, 2013:463)
 Dari skema di atas dipahami bahwa aspek psikologi yang diyakini berasal dari sisi internal dan aspek sosiologi dari sisi eksternal calon artis sebagaimana kajian Zolberg (1990) menjadi dasar yang memotivasi seseorang untuk menjadi artis yang peneliti masukkan pada tahap Produksi (1). Tahap Produksi (2) merupakan tahap di mana calon artis itu berjuang masuk ke industri entertainment atau rumah produksi, yakni keluarga, casting, lomba, dan Youtube. Empat klasifikasi kemudian, yakni film, FTV, sinetron, dan program TV menunjukkan tahap Distribusi  yang dimaknai dengan hadirnya berbagai produk sebagai media penyaluran bakat calon artis agar dikenal penontonnya. Pasca tahap Distribusi pertama, tahap Konsumsi menjadi usaha padu antara artis itu sendiri dengan media. Bagi artis yang menilai positif profesinya maka ia akan terus berkarya sekaligus mengukir prestasi untuk membuktikan kualitas eksistensinya di dunia seni peran. Namun bagi artis ‘hasil karbitan’, tak adanya prestasi di ajang-ajang penghargaan yang digelar dan hanya muncul di media karena gosip sensasional adalah bukti nyata jika ia menilai negatif profesinya. Disinyalir bahwa artis-artis yang terlibat dalam lingkaran artis prostitusi online adalah artis-artis yang masuk dalam golongan terakhir ini.
Kemudian, konsep ketiga adalah online. Pengertian online adalah keadaan komputer yang terkoneksi/terhubung ke jaringan internet. Sehingga apabila komputer kita online maka dapat mengakses internet atau mencari informasi-informasi di internet. Dari pemahaman ini, dapat dimaknai pula bahwa online adalah suatu kondisi di mana pertemuan antara dua pihak atau transaksi tidak dilakukan secara langsung atau face to face. Pelibatan media sebagai alat (komputer, laptop, handphone, tab) dan jaringan komunikasi seluler atau internet sebagai perantara menjadi syarat pertama sebelum terjadinya transaksi yang bersifat langsung.
Dari tiga konsep dasar di atas, ada perbedaan yang terjadi saat ketiganya digabung, terlebih ketika ia difokuskan untuk melihat kasus tertentu. Hasil penelaahan berdasarkan pemberitaan yang dimuat oleh Sriwijaya Post terhadap kasus prostitusi artis online pada periode Minggu-Kamis, 10-14 Mei 2015, ditemukan fakta bahwa konsep prostitusi ini termasuk dalam level kelas atas. Dengan WTS yang berasal dari kalangan artis, mucikari menetapkan harga antara Rp 80 – Rp 200 juta per kencan (short time). Mereka pun tidak menggunakan lokalisasi sebagai tempat transaksi, melainkan negosiasi secara online, yakni menggunakan sarana BBM dan whats App. Setelah dirasa cocok, baru diadakan meeting antara pembeli dengan mucikari untuk melakukan pembayaran. Pasca itu, si hidung belang pun dapat melakukan check in dengan para artis pesanan mereka di hotel-hotel berbintang.

B.2. Symbolic Reality
            Usai memahami objective reality tentang prostitusi artis online di atas, berikut analisis symbolic reality yang fokus pada berita-berita yang dimuat di media cetak Sriwijaya Post selama 5 hari berturut-turut, yakni Minggu-Kamis, 10-14 Mei 2015. Pemahaman symbolic reality sendiri adalah semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai “objective reality” misalnya teks produk industri media, seperti berita di media cetak atau elektronika, begitu pun yang ada di film-film (Nurhadi, 2015:123). Dari hasil analisis yang dilakukan peneliti, banyak symbolic reality yang dilakukan oleh Sriwijaya Post untuk membuat kasus ini diterima secara ‘heboh’ atau ‘bombastis’ oleh masyarakat. Hal ini jelas membuktikan bahwa media memiliki kuasa dalam bermain-main di tataran konstruksi sosial. Berikut tabel hasil analisis symbolic reality yang sudah peneliti buat atas kasus ini:

Tabel 1. Symbolic Reality “Prostitusi Artis Online” di Sriwijaya Post
(Minggu-Kamis, 10-14 Mei 2015)

Hari/Tgl
Judul Berita
Hlm
Symbolic Reality
Minggu,
10 Mei 2015
Dibayar Rp 80 Juta Lalu Lepas Busana
· Artis AA Bertarif Hingga Rp 200 Juta
1 dan 7
Selain berita, di halaman 1 Sriwijaya Post juga memberikan skema proses prostitusi artis online dengan judul “Dilunasi Baru Buka Kamar” dengan 7 langkah.
Senin,
11 Mei 2015
Itu Bukan Aku Inisial AA Banyak
· Amel Alvi Tampil Bersama Cita Citata
1 dan 7
Selain dua judul berita yang bombastis, di halaman 1 Sriwijaya Post juga memajang foto Amel Alvi berbaju merah dengan pose seronok yang memamerkan pahanya.
Amel Alvi Sehari Layani Tiga Pria
Diejek Karena Payudara Besar
22
Mengimbangi berita halaman 1, pada halaman 22, Sriwijaya Post menambah Rubrik Celeb Life Style dengan dua judul sarkasme dan foto Duo Srigala yang menonjolkan payudara mereka.
Nggak Serendah Itu
Selasa,
12 Mei 2015
Mucikari Artis AA Perias Palembang
· Testimoni Robby Abbas
· Transaksi Pakai Istilah Arisan
1 dan 7
Berita menjadi headline dan Sriwijaya Post membesar-besarkannya karena diketahui bahwa Robby Abbas berasal dari Palembang.
Obbie Sebut AA Amel Alvi
1 dan 7
Mengambil data yang harusnya off the record dari tabloidnova.com, Sriwijaya Post memastikan bahwa inisial AA itu adalah Amel Alvi.
Oddie Enggan Disebut Emak
18
Mendukung berita headline, Sriwijaya Post menambah rubrik Gosipi pada halaman 18 dan kembali menceritakan proses prostitusi artis online yang dilakukan Oddie (mucikari) dan Amel Alvi (artis prostitusi).
AA adalah Amel Alvi!
Rabu,
13 Mei 2015
Pelanggannya Pejabat Sumsel
· Polisi Telisik Jejak Robby di Palembang
1 dan 7
Sriwijaya Post berusaha mengkait-kaitkan peristiwa prostitusi di Jakarta dengan di Palembang padahal berita ini merupakan berita dengan peristiwa yang sama sekali berbeda.
Ratu Mucikari Palembang Trauma
Kamis,
14 Mei 2015
Robby Menangis Tahu Orangtua Syok
· Keluarga di Palembang Belum Besuk Mucikari Artis
1 dan 7
Selain dua judul berita, Sriwijaya Post juga menambahkan kutipan komentar artis yang ditengarai merupakan dugaan artis-artis prostitusi dengan judul “Apa Kata Mereka”, yakni Vicky Shu, Catherine Wilson, Bella Shofie dan Baby Margaretha. Juga ada Tabel Tarif Kencan Artis yang berisi 17 inisial nama artis prostitusi dengan tarifnya.
Tak Punya Rekening
Artis Bandel
18
Menambah berita headline, Sriwijaya Post menghadirkan rubrik Celeb Life Style dengan tema seputar komentar artis tentang prostitusi artis online. Tiga artis diangkat menjadi pencetus opini dengan sudut pandang beragam, yakni Maia Estianty, Marissa Nasution, dan Baby Margaretha.
Marissa Enggan Menanggapi
Baby Margaretha Sering Diajak ‘Tidur’ Bareng

B.3. Subjective Reality
            Tahap ketiga dari proses konstruksi sosial adalah subjective reality. Definisi subjective reality adalah konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi (Nurhadi, 2015:124). Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objektivikasi, memunculkan konstruksi objective reality yang baru. Dari pemahaman ini, peneliti akan mengambil beberapa temuan dalam symbolic reality untuk dikaji lebih dalam pada bagian ini untuk kemudian mengkaitkannya dalam persoalan etika komunikasi.
            Fokus etika komunikasi pada penelitian ini sendiri muncul sebagai dampak dari hubungan antara media (wartawan) dengan pembacanya. Bagaimana media massa mengangkat, membingkai, dan mewacanakannya, tidak dipungkiri akan memberikan input yang berarti di pikiran penonton, pendengar, dan pembaca medianya. Fenomena kehidupan artis yang diangkat ke permukaan lewat media massa sendiri bukanlah perkara baru. Memang membaca kehidupan artis—yang dibayangkan masyarakat sebagai dunia gemerlap, penuh kecantikan, kegantengan, dan kekayaan materi—sangatlah menarik. Terlebih salah satu fungsi media adalah juga untuk memberikan hiburan kepada masyarakat. Namun, apakah pemberitaan tentang prostitusi artis online juga masuk dalam kategori hiburan?
Dikatakan Haryanto (2006:30), jangan-jangan semua pemberitaan ini hanya sekadar argumen yang dipakai media untuk menangguk keuntungan dari gunjang-gunjingnya kehidupan para artis, melempar gimmick kepada artis, agar terus bisa menulis atau menyiarkan sesuatu dari dunia tersebut. Harusnya, media dapat membedakan mana yang kepentingan umum dan mana yang kepentingan pribadi. Dan untuk itu media harusnya dapat lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi sang media.
Seperti yang terjadi dalam pemberitaan prostitusi artis online di Sriwijaya Post, bahwa selama lima hari berturut-turut, Sriwijaya Post sangat intens memberitakan kasus ini. Tanpa ada pernyataan resmi dari pihak kepolisian, media pun berani menyatakan bahwa artis berinisial AA itu adalah Amel Alvi hanya berdasarkan keterangan RA yang keceplosan. Tindakan yang paling parah adalah menampilkan foto Amel Alvi yang begitu seronok dengan dua judul yang ‘menyesatkan’.
Gambar 3. Amel Alvi Sehari Layani Tiga Pria (Sriwijaya Post, Senin, 11/5/2015)
Dari gambar 3 di atas, terlihat bagaimana Sriwijaya Post seolah-olah membenarkan bahwa Amel Alvi adalah artis yang terlibat dalam kasus prostitusi artis online. Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif, dalam hal ini para wartawan Sriwijaya Post, melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Mereka kemudian menyetting gambar, judul berita, dan tata letak yang menarik sehingga bagi pembaca yang tidak membaca hingga tuntas akan memperoleh kesesatan atas pemberitaan yang muncul.
Gambar 4. Apa Kata Mereka dan Daftar Tarif Kencan Artis (Sriwijaya Post, Rabu. 13/5/2015)
Dari gambar 4 di atas, Sriwijaya Post turut menampilkan daftar tarif kencan artis dengan harga bombastis yang disertai dengan beberapa komentar artis yang diduga merupakan artis dengan inisial nama yang ada di daftar tersebut. Dari pemberitaan ini, pembaca seolah diajak ikut menduga bahwa memang merekalah pelakunya. Padahal polisi sendiri tidak pernah mempublikasikan siapa nama-nama artis yang diduga masuk dalam 200 nama koleksi WTS yang dimiliki oleh mucikari RA.  
Gambar 5. Dilunasi Baru Buka Kamar (Sriwijaya Post, Minggu, 10/5/2015)
Hasil analisis mengenai konstruksi realitas sosial tentang pemberitaan prostitusi artis online yang dilakukan oleh Sriwijaya Post selama lima hari Minggu-Kamis, 10-14/5/2015 ini ditemukan bahwa berita utamanya hanya terjadi pada berita pertama yang muncul pada hari Minggu, 10 Mei 2015 sebagaimana tergambar pada gambar 5 di atas. Selebihnya merupakan pengembangan dari berita hari pertama yang diolah secara ‘cerdas’ oleh Sriwijaya Post. Bagian yang paling mengkhawatirkan adalah berita hari terakhir, Kamis, 14/5/2015 dimana sesungguhnya tidak ada kaitan sama sekali antara peristiwa A dan B. Namun berita dengan judul “Pelanggannya Pejabat Sumsel” itu sengaja dibuat subjudul Polisi Telisik Jejak Robby di Palembang agar pembaca memunculkan perasaan betapa hebatnya jaringan mafia prostitusi artis yang dilakukan oleh tersangka mucikari RA di negeri ini.
Dari pemaparan temuan hasil penelitian mengenai konstruksi realitas sosial atas kasus prostitusi artis online di Sriwijaya Post di atas, dapat ditelaah bahwa telah terjadi invasi privasi oleh media. Sebagaimana dikatakan oleh Louis Alvin Day dalam Etics Media Communication (Mufid, 2010:188-189), bahwa invasi privasi oleh media meliputi spektrum yang luas, mulai dari reporter hingga pengiklan. Dalam kondisi persaingan media yang makin ketat, proses invasi tersebut merupakan hal yang tak dapat dihindari. Termasuk pada Sriwijaya Post, yang dengan sengaja mengambil kasus prostitusi artis online untuk melakukan konstruksi atas pemaknaan pembaca terhadap profesi artis yang rentan akan penyalahgunaan profesi untuk melanggar moral susila.

C. PENUTUP
Pengkajian atas konstruksi realitas sosial atas peristiwa prostitusi artis online, lagi-lagi meminta pembaca, penonton, dan pendengar media untuk melakukan literasi media atas perilaku konsumsi mereka terhadap media. Bahwa pesan-pesan yang disampaikan tidak sekedar fenomena, tetapi sebagai ikon dari pemaknaan konstruksi sosial yang selama ini ada di masyarakat. Artis adalah sosok pekerja seni yang kehidupannya juga tidak lepas sebagai bahan cerita dari seni pemberitaaan itu sendiri. Oleh karena itu, harusnya wartawan bekerja lebih keras agar data yang diperoleh benar-benar valid dan dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Etika komunikasi harus dapat membedakan antara urusan privasi dan urusan publik. Masyarakat sendiri tidak bisa untuk selalu mengatakan bahwa sudah menjadi resiko bagi artis atau public figure untuk tidak memiliki privasi karena walau bagaimanapun artis memiliki privasi sebagai hak yang menyangkut urusan personal. Namun bila menyangkut urusan publik jelas artis tersebut tidak bisa menghindar dari upaya publikasi sebagai bagian dari tranparansi tanggung jawab. Pertanyaannya kemudian apakah berita prostitusi artis online ini termasuk ranah privasi atau publik?
Maka di bagian penutup dari tulisan ini, peneliti menyimpulkan bahwa berdasarkan pemaparan penelitian ini, kasus prostitusi artis online masuk ke dalam ranah publik. Namun bagaimana proses pengungkapan (revelation) atas kasus ini yang kemudian menjadi persoalan sebagian besar media negeri ini, termasuk Sriwijaya Post. Tendensi dari privasi adalah penyembunyian (concealment) yang memang menjadi momok bagi media yang membutuhkan data untuk beritanya. Namun bukan berarti menghalalkan segala macam cara untuk menampilkan berita yang bombastis dan mencederai kebenaran dari berita itu sendiri.

Daftar Pustaka
---. (20 Juni 2013). Pengertian Online. http://temukanpengertian.blogspot.com/2013/06/pengertian-online-online-adalah-online.html. (Diakses 20 Juni 2015).
Anita, Sumarni Bayu. Heri Budianto dkk (Editor). (2013). Artis dan Film Indonesia (Studi Kasus Reza Rahadian Sebagai BJ Habibie dan Bunga Citra Lestari Sebagai Hasri Ainun Dalam Film Habibie & Ainun). Identitas Indonesia Dalam TV, Film dan Musik. Pusat Studi Komunikasi dan Bisnis Program Pascasarjana Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Apriadi, Tamburaka. (2013). Literasi Media Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Cresswell, John W. (2010). Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Dewi, Heriana Eka. (2012). Memahami Perkembangan Fisik Remaja. Gosyen Publishing, Yogyakarta.
Haryanto, Ignatius. (2006). Aku Selebriti Maka Aku Penting. Bentang, Yogyakarta.
Mufid, Muhamad. (2010). Etika dan Filsafat Komunikasi. Kencana, Jakarta.
Nurhadi, Zikri Fachrul. (2015). Teori-Teori Komunikasi Teori Komunikasi dalam Perspektif Penelitian Kualitatif. Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor.
Oktaviani, Eka Candra. (2013). Prostitusi Atau Pelacuran Dalam Tinjauan Al-Quran, Hadist dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). http:// http://ekachandramediabkiuinsgd.blogspot.co.id/2013/03/prostitusi-atau-pelacuran-dalam.html. (Diakses 1 Agustus 2016)
Sriwijaya Post, Minggu, 10 Mei 2015.
Sriwijaya Post, Senin, 11 Mei 2015.
Sriwijaya Post, Selasa, 12 Mei 2015.
Sriwijaya Post, Rabu, 13 Mei 2015.
Sriwijaya Post, Kamis, 14 Mei 2015.

Zolberg, Vera L. (1990). Constructing a Sociology of the Arts, Bab 5. Are artis born or made?. Cambridge University Press, USA.

Catatan: Artikel di atas sudah dimuat di Jurnal Dakwah Tabligh Vol. 17, No. 1, Juni 2016 Oleh Penerbit Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar

About