PROSTITUSI ARTIS ONLINE DALAM KONSTRUKSI
REALITAS SOSIAL
(Studi Kasus Tertangkapnya Artis AA
Dalam Bingkai Harian Sriwijaya Post)
Sumarni Bayu Anita
Ketua Jurusan
Ilmu Komunikasi STISIPOL Candradimuka Palembang
sb.anita@gmail.com
ABSTRAK
Sejak mencuatnya isu
prostitusi artis online, media massa Indonesia ramai menjadikannya sebagai
bahasan utama. Selama lima hari berturut-turut, Minggu-Kamis (10-14/5/2015), salah
satu surat kabar besar di Sumatera Selatan, Sriwijaya Post menjadikan
pemberitaan prostitusi artis online berada di halaman depan, tiga di antaranya
sebagai headline. Konstruksi realitas sosial dunia artis yang dekat
dengan komodifikasi tubuh, menjadikan ‘isu lama’ ini terbaharui kembali.
Kontribusi media massa dalam mengangkat, membingkai, dan mewacanakannya, tidak
dipungkiri memberikan input yang berarti di pikiran penonton, pendengar, dan
pembaca medianya. Dari sini, pemberitaan prostitusi artis online diteliti berdasarkan analisis konstruksi realitas sosial
berdasarkan teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann. Dari analisis ini, diperoleh hasil temuan penelitian bahwa melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga
bentuk realitas yang menjadi entry
concept, yakni objective reality,
symbolic reality, dan subjective reality,
pemberitaan prostitusi artis online turut menjadi tugas moral para insan media
dalam melaksanakan etika komunikasi. Pesan-pesan yang disampaikan tidak sekedar
fenomena, tetapi sebagai ikon dari pemaknaan konstruksi sosial yang selama ini
ada di masyarakat. Artis adalah sosok pekerja seni yang kehidupannya juga tidak
lepas sebagai bahan cerita dari seni pemberitaaan itu sendiri.
Kata Kunci: prostitusi online, artis, konstruksi, realitas
sosial, surat kabar, etika komunikasi
A. PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang
Berita tertangkap basahnya seorang
artis berinisial AA, Jumat (8/5/2015) malam di sebuah hotel bintang lima di
kawasan Jakarta Selatan yang sedang melayani pelanggan yang tak lain polisi
yang sedang menyamar sontak mengejutkan banyak orang (Sriwijaya Post,
10/5/2015). Peristiwa ini tentu langsung menyedot perhatian masyarakat dan
media yang tak pelak langsung menjadikannya sebagai berita yang harus menjadi
agenda utama pembicaraan. Tak ingin ketinggalan dengan media televisi, radio
dan internet, media cetak pun menjadikan berita ini sebagai headline mereka. Begitu pula dengan
Sriwijaya Post, salah satu media cetak terkemuka di Sumatera Selatan yang
menjadikan berita tentang prostitusi artis online sebagai pembahasan utama
selama 5 hari berturut-turut, Minggu-Kamis (10-14/5/2015).
Konstruksi
realitas sosial dunia artis yang dekat dengan komodifikasi tubuh, menjadikan
‘isu lama’ ini dapat terus terbaharui kembali. Kontribusi media massa dalam
mengangkat, membingkai, dan mewacanakannya, tidak dipungkiri memberikan input
yang berarti di pikiran penonton, pendengar, dan pembaca medianya. Dari sini, pemberitaan
prostitusi artis online akan diteliti berdasarkan
analisis konstruksi realitas sosial berdasarkan teori konstruksi
sosial Berger dan Luckmann. Istilah konstruksi sosial atas realitas sendiri didefinisikan
sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu
menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami
secara subjektif (Nurhadi, 2015:120).
Dari hasil penelitian ini kemudian
akan coba dipahami secara kritis mengenai keterkaitan antara konstruksi
realitas prostitusi artis online dengan persoalan privasi dalam etika
komunikasi yang dalam hal ini dilakukan oleh media, khususnya oleh media cetak
harian Sriwijaya Post. Benarkah terjadi penggusuran nilai privasi dalam praktik
komunikasi seperti yang dikeluhkan oleh para artis Indonesia dewasa ini? Bahwa
harusnya pemberitaan prostitusi artis online turut menjadi tugas moral para
insan media dalam melaksanakan etika komunikasi. Atau hanya akan selalu menjadi
bahan ‘hiburan’ kita untuk sejenak melupakan masalah pelik dalam hidup kita
sendiri?
A.2. Teori Konstruksi Realitas
Sosial
Kata-kata Aristoteles ‘cogito ergo
sum’ yang berarti “saya berpikir karena itu saya ada” merupakan dasar yang kuat
bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Ditulis
Nurhadi (2015:120-121), pada tahun 1710, Vico dalam ‘De Antiquissima Italorum Sapientia’,
mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ‘Tuhan adalah pencipta alam semesta
dan manusia adalah tuan dari ciptaan’. Menurut Vico, bahwa hanya Tuhan sajalah
yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana
membuatnya dan dari apa ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat
mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya.
Sejauh ini ada tiga macam
konstruktivisme, yakni konstruktivisme radikal, realisme hipotesis, dan
konstruktivisme biasa. Dari ketiga macam konstruktivisme tersebut, terdapat
kesamaan di mana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu
untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara
individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Individu kemudian membangun
sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur
pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Peter L. Berger dan
Thomas Luckmann disebut dengan Teori Konstruksi Sosial.
Berger dan Luckmann (Nurhadi,
2015:122) mengatakan, terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat
dan masyarakat menciptakan individu. Proses dialektika ini terjadi melalui tiga
tahapan (momen), yakni eksternalisasi, objectivasi, dan internalisasi. Selain
itu, proses dialektika ini juga muncul dalam proses konstruksi yang menurut
Berger dan Luckmann berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari
tiga bentuk realitas yang menjadi entry
concept, yakni objective reality,
symbolic reality, dan subjective
reality. Berdasarkan tiga bentuk realitas itulah, maka peneliti mencoba
menganalisis bagaimana pemberitaan prostitusi artis online yang muncul pada
awal bulan Mei 2015 lalu itu dikonstruksi oleh media yang kemudian dikonsumsi
oleh masyarakat.
A.3. Metodologi Penelitian
Berdasarkan tulisan Creswell (2010),
maka penelitian ini termasuk penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan
strategi penelitiannya adalah studi kasus. Hal ini karena peneliti ingin
memahami bagaimana konstruksi realitas sosial terjadi atas peristiwa prostitusi
artis online ditinjau dari kasus tertangkap basahnya artis AA pada Jumat
(8/5/2015) dengan mucikari RA yang kemudian pemberitaannya dimuat di surat
kabar Sriwijaya Post. Data primer dari penelitian ini sendiri adalah surat
kabar Sriwijaya Post sebanyak 5 edisi berturut-turut, yakni edisi Minggu-Kamis
(10-14/5/2015) dengan mengambil berita-berita yang mengangkat tema tentang
prostitusi artis online.
Gambar 1. Lima Edisi Sriwijaya Post (Minggu-Kamis,
10-14/5/2015)
B. PEMBAHASAN
Usai pemaparan latar belakang, teori
dan metodologi di atas, berikut ini peneliti akan masuk dalam bagian pembahasan
penelitian. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti akan membongkar
isu mengenai prostitusi artis online ini melalui Teori Konstruksi Sosial-nya
Berger dan Luckmann yang menekankan pada bagian interaksi sosial yang dialektis dari tiga
bentuk realitas yang menjadi entry
concept, yakni objective reality, symbolic
reality, dan subjective reality.
Adapun pintu masuk dalam pembongkarannya menggunakan berita-berita dengan
tema prostitusi artis online yang dimuat di Sriwijaya Post selama lima edisi
berturut-turut, Minggu-Kamis, 10-14/5/2015. Sriwijaya Post sendiri adalah
sebuah surat kabar harian yang terbit di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia. Surat kabar yang beralamat di Jl. Alamsyah
Ratu Prawira Negara No. 120 Kelurahan Bukit Lama, Kecamatan Ilir Barat I
Palembang, Telp (0711) 440088 ini termasuk dalam grup Kompas Gramedia dan
sudah terbit sejak tahun 1974.
B.1. Objective Reality
Objective reality merupakan
suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) serta
rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya
dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta (Nurhadi, 2015:123). Dari
definisi ini kita diajak untuk memahami terlebih dahulu konsep dasar atas
setiap isu yang dibahas. Membahas tentang prostitusi artis online berarti kita harus
memahami kompleksitas definisi atas realitas terhadap tiga konsep utama masalah
ini terlebih dahulu, yaitu konsep prostitusi, artis dan online. Baru kemudian
membingkai ketiganya dengan fokus studi kasus yang dibahas kali ini.
Konsep pertama, yakni prostitusi.
Definisi prostitusi adalah melakukan hubungan seksual
dengan berganti-ganti pasangan yang bukan istri atau suaminya, yang dilakukan
ditempat-tempat tertentu (lokalisasi, hotel, tempat rekreasi dan lain-lain),
yang pada umumnya mereka mendapatkan uang setelah melakukan hubungan badan (Dewi, 2012:81). Para
penjual diri tersebut sering disebut WTS (Wanita Tuna Susila). Mereka adalah
para wanita yang tidak mempunyai susila (adab, akhlak, kesopanan). Sedang para
pembelinya disebut hidung belang, yaitu para pembeli sex yang
menghambur-hamburkan uangnya demi terpuaskannya nafsu birahi. Lokalisasinya
disebut kompleks pelacuran atau ajang berkumpul dalam melakukan pesta sexnya.
Adapun orang yang menampung para pelacur dan hidung belang dalam melakukan
transaksi sexnya disebut mucikari atau germo. Orang inilah yang amat mendukung
terlaksananya pesta maksiat itu. Ia mendapat imbalan dari para pelacur dari
penghasilannya, sekian persen.
Jika ditinjau dari Al-Quran, berikut
ini beberapa ayat yang berkaitan dengan prostitusi (Oktaviani, 2013), yaitu:
1.
QS. Al-Isro' [17]: 32
Dan janganlah kamu
mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu
jalan yang buruk.
2.
QS. An-Nuur [24]: 30
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangannya,
dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang mereka perbuat”.
3.
QS. An-Nuur [24] : 26
Wanita-wanita yang keji
adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang
baik (pula). mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh
mereka (yang menuduh itu). bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).
4.
QS. An-Nuur [24] : 33
Dan orang-orang yang tidak
mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan
mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan
perjanjian, hendaklah kamu buat Perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui
ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta
Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk
melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu
hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.
Konsep kedua, yakni artis. Artis atau
seniman adalah seseorang yang menciptakan sesuatu yang oleh masyarakat diakui
sebagai seni, antara lain musik, puisi, lukisan, patung, film, dan lain-lain
(Anita, 2013:461). Hasil penelitian Anita (2013) mengungkapkan bahwa ada proses
tertentu yang harus dilalui seseorang sampai akhirnya ia bisa disebut sebagai
artis. Berikut ini skema proses hubungan artis dan film di Indonesia, yaitu:
Gambar 2. Skema Proses Hubungan Artis dan Film di
Indonesia (Anita, 2013:463)
Dari skema di atas dipahami bahwa aspek
psikologi yang diyakini berasal dari sisi internal dan aspek sosiologi dari
sisi eksternal calon artis sebagaimana kajian Zolberg (1990) menjadi dasar yang
memotivasi seseorang untuk menjadi artis yang peneliti masukkan pada tahap
Produksi (1). Tahap Produksi (2) merupakan tahap di mana calon artis itu
berjuang masuk ke industri entertainment atau rumah produksi, yakni keluarga, casting, lomba, dan Youtube. Empat
klasifikasi kemudian, yakni film, FTV, sinetron, dan program TV menunjukkan
tahap Distribusi yang dimaknai dengan
hadirnya berbagai produk sebagai media penyaluran bakat calon artis agar
dikenal penontonnya. Pasca tahap Distribusi pertama, tahap Konsumsi menjadi
usaha padu antara artis itu sendiri dengan media. Bagi artis yang menilai
positif profesinya maka ia akan terus berkarya sekaligus mengukir prestasi
untuk membuktikan kualitas eksistensinya di dunia seni peran. Namun bagi artis
‘hasil karbitan’, tak adanya prestasi di ajang-ajang penghargaan yang digelar
dan hanya muncul di media karena gosip sensasional adalah bukti nyata jika ia
menilai negatif profesinya. Disinyalir bahwa artis-artis yang terlibat dalam
lingkaran artis prostitusi online adalah artis-artis yang masuk dalam golongan
terakhir ini.
Kemudian, konsep ketiga adalah online.
Pengertian online adalah keadaan komputer yang terkoneksi/terhubung ke jaringan
internet. Sehingga apabila komputer kita
online maka dapat mengakses internet atau
mencari informasi-informasi di internet. Dari pemahaman ini, dapat dimaknai pula bahwa online
adalah suatu kondisi di mana pertemuan antara dua pihak atau transaksi tidak
dilakukan secara langsung atau face to face. Pelibatan media sebagai alat
(komputer, laptop, handphone, tab) dan jaringan komunikasi seluler atau
internet sebagai perantara menjadi syarat pertama sebelum terjadinya transaksi
yang bersifat langsung.
Dari tiga konsep dasar di atas, ada
perbedaan yang terjadi saat ketiganya digabung, terlebih ketika ia difokuskan
untuk melihat kasus tertentu. Hasil penelaahan berdasarkan pemberitaan yang
dimuat oleh Sriwijaya Post terhadap kasus prostitusi artis online pada periode
Minggu-Kamis, 10-14 Mei 2015, ditemukan fakta bahwa konsep prostitusi ini
termasuk dalam level kelas atas. Dengan WTS yang berasal dari kalangan artis,
mucikari menetapkan harga antara Rp 80 – Rp 200 juta per kencan (short time). Mereka pun tidak
menggunakan lokalisasi sebagai tempat transaksi, melainkan negosiasi secara
online, yakni menggunakan sarana BBM dan whats App. Setelah dirasa cocok, baru
diadakan meeting antara pembeli dengan mucikari untuk melakukan pembayaran.
Pasca itu, si hidung belang pun dapat melakukan check in dengan para artis
pesanan mereka di hotel-hotel berbintang.
B.2. Symbolic Reality
Usai
memahami objective reality tentang
prostitusi artis online di atas, berikut analisis symbolic reality yang fokus pada berita-berita yang dimuat di media
cetak Sriwijaya Post selama 5 hari berturut-turut, yakni Minggu-Kamis, 10-14
Mei 2015. Pemahaman symbolic reality sendiri
adalah semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai “objective reality” misalnya teks produk
industri media, seperti berita di media cetak atau elektronika, begitu pun yang
ada di film-film (Nurhadi, 2015:123). Dari hasil analisis yang dilakukan
peneliti, banyak symbolic reality
yang dilakukan oleh Sriwijaya Post untuk membuat kasus ini diterima secara
‘heboh’ atau ‘bombastis’ oleh masyarakat. Hal ini jelas membuktikan bahwa media
memiliki kuasa dalam bermain-main di tataran konstruksi sosial. Berikut tabel
hasil analisis symbolic reality yang
sudah peneliti buat atas kasus ini:
Tabel 1.
Symbolic Reality “Prostitusi Artis
Online” di Sriwijaya Post
(Minggu-Kamis,
10-14 Mei 2015)
Hari/Tgl
|
Judul
Berita
|
Hlm
|
Symbolic
Reality
|
Minggu,
10 Mei 2015
|
Dibayar Rp 80 Juta Lalu Lepas Busana
· Artis AA Bertarif Hingga Rp 200 Juta
|
1 dan 7
|
Selain berita, di halaman 1 Sriwijaya Post juga
memberikan skema proses prostitusi artis online dengan judul “Dilunasi Baru
Buka Kamar” dengan 7 langkah.
|
Senin,
11 Mei 2015
|
Itu Bukan Aku Inisial AA Banyak
· Amel Alvi Tampil Bersama Cita Citata
|
1 dan 7
|
Selain dua judul berita yang bombastis, di
halaman 1 Sriwijaya Post juga memajang foto Amel Alvi berbaju merah dengan
pose seronok yang memamerkan pahanya.
|
Amel Alvi Sehari Layani Tiga Pria
|
|||
Diejek Karena Payudara Besar
|
22
|
Mengimbangi berita halaman 1, pada halaman 22,
Sriwijaya Post menambah Rubrik Celeb Life Style dengan dua judul sarkasme dan
foto Duo Srigala yang menonjolkan payudara mereka.
|
|
Nggak Serendah Itu
|
|||
Selasa,
12 Mei 2015
|
Mucikari Artis AA Perias Palembang
· Testimoni Robby Abbas
· Transaksi Pakai Istilah Arisan
|
1 dan 7
|
Berita menjadi headline dan Sriwijaya Post
membesar-besarkannya karena diketahui bahwa Robby Abbas berasal dari
Palembang.
|
Obbie Sebut AA Amel Alvi
|
1 dan 7
|
Mengambil data yang harusnya off the record dari
tabloidnova.com, Sriwijaya Post memastikan bahwa inisial AA itu adalah Amel
Alvi.
|
|
Oddie Enggan Disebut Emak
|
18
|
Mendukung berita headline, Sriwijaya Post
menambah rubrik Gosipi pada halaman 18 dan kembali menceritakan proses
prostitusi artis online yang dilakukan Oddie (mucikari) dan Amel Alvi (artis
prostitusi).
|
|
AA adalah Amel Alvi!
|
|||
Rabu,
13 Mei 2015
|
Pelanggannya Pejabat Sumsel
· Polisi Telisik Jejak Robby di Palembang
|
1 dan 7
|
Sriwijaya Post berusaha mengkait-kaitkan
peristiwa prostitusi di Jakarta dengan di Palembang padahal berita ini
merupakan berita dengan peristiwa yang sama sekali berbeda.
|
Ratu Mucikari Palembang Trauma
|
|||
Kamis,
14 Mei 2015
|
Robby Menangis Tahu Orangtua Syok
· Keluarga di Palembang Belum Besuk Mucikari Artis
|
1 dan 7
|
Selain dua judul berita, Sriwijaya Post juga
menambahkan kutipan komentar artis yang ditengarai merupakan dugaan
artis-artis prostitusi dengan judul “Apa Kata Mereka”, yakni Vicky Shu,
Catherine Wilson, Bella Shofie dan Baby Margaretha. Juga ada Tabel Tarif
Kencan Artis yang berisi 17 inisial nama artis prostitusi dengan tarifnya.
|
Tak Punya Rekening
|
|||
Artis Bandel
|
18
|
Menambah berita headline, Sriwijaya Post
menghadirkan rubrik Celeb Life Style dengan tema seputar komentar artis
tentang prostitusi artis online. Tiga artis diangkat menjadi pencetus opini
dengan sudut pandang beragam, yakni Maia Estianty, Marissa Nasution, dan Baby
Margaretha.
|
|
Marissa Enggan Menanggapi
|
|||
Baby Margaretha Sering Diajak ‘Tidur’ Bareng
|
B.3. Subjective Reality
Tahap
ketiga dari proses konstruksi sosial adalah subjective
reality. Definisi subjective reality
adalah konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi
melalui proses internalisasi (Nurhadi, 2015:124). Realitas subjektif yang
dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam
proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam
sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara
kolektif berpotensi melakukan objektivikasi, memunculkan konstruksi objective reality yang baru. Dari
pemahaman ini, peneliti akan mengambil beberapa temuan dalam symbolic reality untuk dikaji lebih
dalam pada bagian ini untuk kemudian mengkaitkannya dalam persoalan etika
komunikasi.
Fokus
etika komunikasi pada penelitian ini sendiri muncul sebagai dampak dari hubungan
antara media (wartawan) dengan pembacanya. Bagaimana media massa mengangkat, membingkai, dan
mewacanakannya, tidak dipungkiri akan memberikan input yang berarti di pikiran
penonton, pendengar, dan pembaca medianya. Fenomena kehidupan artis yang
diangkat ke permukaan lewat media massa sendiri bukanlah perkara baru. Memang
membaca kehidupan artis—yang dibayangkan masyarakat sebagai dunia gemerlap,
penuh kecantikan, kegantengan, dan kekayaan materi—sangatlah menarik. Terlebih
salah satu fungsi media adalah juga untuk memberikan hiburan kepada masyarakat.
Namun, apakah pemberitaan tentang prostitusi artis online juga masuk dalam
kategori hiburan?
Dikatakan Haryanto (2006:30), jangan-jangan
semua pemberitaan ini hanya sekadar argumen yang dipakai media untuk menangguk
keuntungan dari gunjang-gunjingnya kehidupan para artis, melempar gimmick
kepada artis, agar terus bisa menulis atau menyiarkan sesuatu dari dunia
tersebut. Harusnya, media dapat membedakan mana yang kepentingan umum dan mana
yang kepentingan pribadi. Dan untuk itu media harusnya dapat lebih mengutamakan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi sang media.
Seperti yang terjadi dalam pemberitaan
prostitusi artis online di Sriwijaya Post, bahwa selama lima hari
berturut-turut, Sriwijaya Post sangat intens memberitakan kasus ini. Tanpa ada
pernyataan resmi dari pihak kepolisian, media pun berani menyatakan bahwa artis
berinisial AA itu adalah Amel Alvi hanya berdasarkan keterangan RA yang
keceplosan. Tindakan yang paling parah adalah menampilkan foto Amel Alvi yang
begitu seronok dengan dua judul yang ‘menyesatkan’.
Gambar 3. Amel Alvi Sehari Layani Tiga Pria
(Sriwijaya Post, Senin, 11/5/2015)
Dari gambar 3 di atas, terlihat
bagaimana Sriwijaya Post seolah-olah membenarkan bahwa Amel Alvi adalah artis
yang terlibat dalam kasus prostitusi artis online. Realitas merupakan hasil
ciptaan manusia kreatif, dalam hal ini para wartawan Sriwijaya Post, melalui kekuatan
konstruksi sosial terhadap dunia sosial di sekelilingnya. Mereka kemudian
menyetting gambar, judul berita, dan tata letak yang menarik sehingga bagi
pembaca yang tidak membaca hingga tuntas akan memperoleh kesesatan atas
pemberitaan yang muncul.
Gambar 4. Apa Kata Mereka dan Daftar Tarif Kencan
Artis (Sriwijaya Post, Rabu. 13/5/2015)
Dari gambar 4 di atas, Sriwijaya Post
turut menampilkan daftar tarif kencan artis dengan harga bombastis yang
disertai dengan beberapa komentar artis yang diduga merupakan artis dengan
inisial nama yang ada di daftar tersebut. Dari pemberitaan ini, pembaca seolah
diajak ikut menduga bahwa memang merekalah pelakunya. Padahal polisi sendiri
tidak pernah mempublikasikan siapa nama-nama artis yang diduga masuk dalam 200
nama koleksi WTS yang dimiliki oleh mucikari RA.
Gambar 5. Dilunasi Baru Buka Kamar (Sriwijaya
Post, Minggu, 10/5/2015)
Hasil analisis mengenai konstruksi
realitas sosial tentang pemberitaan prostitusi artis online yang dilakukan oleh
Sriwijaya Post selama lima hari Minggu-Kamis, 10-14/5/2015 ini ditemukan bahwa
berita utamanya hanya terjadi pada berita pertama yang muncul pada hari Minggu,
10 Mei 2015 sebagaimana tergambar pada gambar 5 di atas. Selebihnya merupakan
pengembangan dari berita hari pertama yang diolah secara ‘cerdas’ oleh
Sriwijaya Post. Bagian yang paling mengkhawatirkan adalah berita hari terakhir,
Kamis, 14/5/2015 dimana sesungguhnya tidak ada kaitan sama sekali antara
peristiwa A dan B. Namun berita dengan judul “Pelanggannya Pejabat Sumsel” itu
sengaja dibuat subjudul Polisi Telisik Jejak Robby di Palembang agar pembaca
memunculkan perasaan betapa hebatnya jaringan mafia prostitusi artis yang
dilakukan oleh tersangka mucikari RA di negeri ini.
Dari pemaparan temuan hasil penelitian
mengenai konstruksi realitas sosial atas kasus prostitusi artis online di
Sriwijaya Post di atas, dapat ditelaah bahwa telah terjadi invasi privasi oleh
media. Sebagaimana dikatakan oleh Louis Alvin Day dalam Etics Media Communication (Mufid, 2010:188-189), bahwa invasi
privasi oleh media meliputi spektrum yang luas, mulai dari reporter hingga
pengiklan. Dalam kondisi persaingan media yang makin ketat, proses invasi
tersebut merupakan hal yang tak dapat dihindari. Termasuk pada Sriwijaya Post,
yang dengan sengaja mengambil kasus prostitusi artis online untuk melakukan
konstruksi atas pemaknaan pembaca terhadap profesi artis yang rentan akan
penyalahgunaan profesi untuk melanggar moral susila.
C. PENUTUP
Pengkajian atas konstruksi realitas
sosial atas peristiwa prostitusi artis online, lagi-lagi meminta pembaca,
penonton, dan pendengar media untuk melakukan literasi media atas perilaku
konsumsi mereka terhadap media. Bahwa pesan-pesan yang disampaikan tidak
sekedar fenomena, tetapi sebagai ikon dari pemaknaan konstruksi sosial yang
selama ini ada di masyarakat. Artis adalah sosok pekerja seni yang kehidupannya
juga tidak lepas sebagai bahan cerita dari seni pemberitaaan itu sendiri. Oleh
karena itu, harusnya wartawan bekerja lebih keras agar data yang diperoleh
benar-benar valid dan dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Etika komunikasi harus dapat
membedakan antara urusan privasi dan urusan publik. Masyarakat sendiri tidak
bisa untuk selalu mengatakan bahwa sudah menjadi resiko bagi artis atau public figure untuk tidak memiliki
privasi karena walau bagaimanapun artis memiliki privasi sebagai hak yang
menyangkut urusan personal. Namun bila menyangkut urusan publik jelas artis
tersebut tidak bisa menghindar dari upaya publikasi sebagai bagian dari
tranparansi tanggung jawab. Pertanyaannya kemudian apakah berita prostitusi
artis online ini termasuk ranah privasi atau publik?
Maka di bagian penutup dari tulisan
ini, peneliti menyimpulkan bahwa berdasarkan pemaparan penelitian ini, kasus
prostitusi artis online masuk ke dalam ranah publik. Namun bagaimana proses
pengungkapan (revelation) atas kasus
ini yang kemudian menjadi persoalan sebagian besar media negeri ini, termasuk
Sriwijaya Post. Tendensi dari privasi adalah penyembunyian (concealment) yang memang menjadi momok
bagi media yang membutuhkan data untuk beritanya. Namun bukan berarti
menghalalkan segala macam cara untuk menampilkan berita yang bombastis dan
mencederai kebenaran dari berita itu sendiri.
Daftar
Pustaka
---. (20 Juni
2013). Pengertian Online.
http://temukanpengertian.blogspot.com/2013/06/pengertian-online-online-adalah-online.html.
(Diakses 20 Juni 2015).
Anita, Sumarni
Bayu. Heri Budianto dkk (Editor). (2013). Artis
dan Film Indonesia (Studi Kasus Reza Rahadian Sebagai BJ Habibie dan Bunga Citra
Lestari Sebagai Hasri Ainun Dalam Film Habibie & Ainun). Identitas
Indonesia Dalam TV, Film dan Musik. Pusat Studi Komunikasi dan Bisnis
Program Pascasarjana Universitas Mercu Buana, Jakarta.
Apriadi,
Tamburaka. (2013). Literasi Media Cerdas
Bermedia Khalayak Media Massa. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Cresswell, John
W. (2010). Research Design Pendekatan
Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Dewi, Heriana Eka. (2012). Memahami Perkembangan Fisik Remaja. Gosyen Publishing, Yogyakarta.
Haryanto,
Ignatius. (2006). Aku Selebriti Maka Aku
Penting. Bentang, Yogyakarta.
Mufid, Muhamad.
(2010). Etika dan Filsafat Komunikasi.
Kencana, Jakarta.
Nurhadi, Zikri
Fachrul. (2015). Teori-Teori Komunikasi
Teori Komunikasi dalam Perspektif Penelitian Kualitatif. Penerbit Ghalia
Indonesia, Bogor.
Oktaviani, Eka
Candra. (2013). Prostitusi Atau Pelacuran
Dalam Tinjauan Al-Quran, Hadist dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
http:// http://ekachandramediabkiuinsgd.blogspot.co.id/2013/03/prostitusi-atau-pelacuran-dalam.html. (Diakses 1 Agustus 2016)
Sriwijaya Post, Minggu,
10 Mei 2015.
Sriwijaya Post,
Senin, 11 Mei 2015.
Sriwijaya Post,
Selasa, 12 Mei 2015.
Sriwijaya Post,
Rabu, 13 Mei 2015.
Sriwijaya Post,
Kamis, 14 Mei 2015.
Zolberg, Vera L. (1990).
Constructing a Sociology of the Arts, Bab
5. Are artis born or made?. Cambridge University Press, USA.
Catatan: Artikel di atas sudah dimuat di Jurnal Dakwah Tabligh Vol. 17, No. 1, Juni 2016 Oleh Penerbit Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar