GONJANG-GANJING
PSSI: ARENA BERMAIN DAN KEKUASAAN
(Analisis Etnografi
Media Terhadap Krisis Manajemen Pada
Persatuan
Sepakbola Seluruh Indonesia Tahun 2011)
Oleh : Sumarni Bayu Anita,
S.Sos, M.A
Abstrak
Tulisan ini berusaha mengungkapkan analisis etnografi
media terhadap krisis manajemen yang terjadi di tubuh Persatuan Sepakbola
Seluruh Indonesia (PSSI) pada tahun 2011 lalu. Dengan
fokus pada persoalan pemaknaan pesan yang terkandung di dalam berbagai
pemberitaan media mengenai tema krisis manajemen PSSI tersebut, dari hasil penelitian ini dipahami bahwa media
memberikan peran yang sangat vital dalam mempengaruhi para penggunanya dalam
menafsirkan suatu persoalan. Mulai dari efek kognitif (pengetahuan), efek
afektif (emosi), dan efek behavioral (sikap), kesemuanya menuntun komunikan
media untuk mencerna kondisi krisis manajemen yang tengah dialami oleh PSSI
kala itu. Media ikut menjadi perumus pemaknaan, dan pada akhirnya penilaian terakhir komunikan media akan
kembali pada aspek kepentingan siapa yang dibela. Dipahami bahwa, persoalan
sepakbola di tanah air bukan sekedar permainan menendang bola, namun lebih jauh
dari itu, ini dapat dijadikan perebutan kekuasaan yang lebih sarkastik di ranah
sosial politik.
A. PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang
Dalam bukunya Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin
(2011), Anthony Reid tegas mengatakan bahwa manusia Asia Tenggara, termasuk
Indonesia di dalamnya sebagai Homo Ludens,
yakni manusia yang bermain-main. Hal ini terlihat dari bagaimana masyarakatnya
melakukan pesta-pesta dan menggunakan waktu santai. Makanan dan iklim yang
lunak memberikan waktu bagi mereka untuk itu semua. Reid menambahkan, bahwa proporsi
masyarakat Asia Tenggara sebagai homo
ludens sangat besar, bahkan mungkin paling besar dibandingkan dengan
masyarakat dari wilayah lain di dunia ini. Meski demikian, Onghokham yang juga memberikan
kata pengantar dalam buku itu ikut menggarisbawahi pernyataan itu dengan
perihal keberadaan awal sepak bola di Asia Tenggara. Masyarakat di Indonesia
sendiri, terutama di daerah Maluku, telah mengenal sepak bola dengan sebutan
olah raga sepak raga atau sepak takraw itu sejak abad ke-16. Sepak takraw
sendiri adalah permainan menendang bola yang bolanya dibuat dari rotan raut
yang mirip keranjang. Satu orang, atau selingkar orang, akan memainkan bola itu
agar tetap di udara dengan menyepaknya dengan kaki atau lutut, lebih istimewa
lagi dengan tapak kaki bagian dalam. Jenis bola kaki ini yang dalam bahasa
Melayu disebut sepak raga, di Luzon disebut sipa,
di Birma disebut chinfohn, dan
sebutan Thai, takraw, kini telah
diterima sebagai nama internasional untuk olahraga tersebut (Reid, 2011: 232-233).
Apabila kita membandingkan olahraga di
Asia Tenggara yang berasal dari Barat, maka akan terlihat bahwa jika di Barat
itu merupakan olahraga elite maka di Asia Tenggara itu justru menjadi arena
santai bagi masyarakat umum (Onghokham dalam Reid, 2011: xxvi). Artinya, ada
implikasi sosial-politik yang membedakan antara masyarakat Asia Tenggara dan
masyarakat Eropa dalam menikmati olahraga. Sepak takraw sendiri berdasarkan
sejarahnya, bukanlah olahraga yang dijadikan ajang perlombaan langsung. Namun,
jika penguasa lokal tidak hadir dalam pesta, olah raga atau “ngabekten” kraton,
maka dia akan dicurigai sebagai pemberontak. Jadi jelas, keikutsertaan serta
peran seseorang di dalam acara tersebut ikut menentukan kedudukan sosial-politik
dalam kerajaan.
Kenyataan masa lalu inilah yang akan
coba dibawa untuk dianalisis dan dibandingkan dengan gonjang-ganjing yang kini
melanda Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) pada tahun 2011 lalu. Apakah
berlarut-larutnya permasalahan, memang karena ada masalah yang cukup penting
hingga sulit dicari jalan keluarnya dengan segera. Ataukah hal ini karena
memang masyarakat Indonesia, yang juga merupakan masyarakat Asia Tenggara
adalah homo ludens yang otomatis
memiliki karakteristik sosial-politik untuk tetap “bermain-main” meski krisis
permasalahannya bahkan sudah berada di ujung tanduk.
A.2. Etnografi
Media
Etnografi muncul dari Antropologi Budaya. Etno berarti
orang atau folk, sedangkan grafi mengacu pada penggambaran sesuatu. Oleh karena
itu etnografi berarti suatu budaya dan pemahaman cara hidup orang lain dari
sisi the native’s point of view.
Selain itu ada juga yang menyebutkan bahwa etnografi adalah salah satu jenis
etnologi. Etnologi adalah cabang antropologi yang mempelajari dinamika budaya,
yaitu proses perkembangan dan perubahan budaya. Dalam aspek penelitian, etnografi adalah
pendekatan empiris dan teoretis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan
analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork) yang intensif. Menurut Geertz
(1973) etnografi bertugas membuat thick
descriptions (pelukisan mendalam) yang menggambarkan ‘kejamakan
struktur-struktur konseptual yang kompleks’, termasuk asumsi-asumsi yang tak
terucap dan taken-for-granted (yang
dianggap sebagai kewajaran) mengenai kehidupan. Seorang etnografer memfokuskan
perhatiannya pada detil-detil kehidupan lokal dan menghubungkannya dengan
proses-proses sosial yang lebih luas
(Adi, 2011).
Kerja seorang peneliti dengan metode ini, termasuk dalam etnografi media, sesuai dengan analogi yang dikemukakan Griffin adalah bagaikan
seorang ahli geografi yang melakukan pemetaan. Pemetaan yang dilakukan peneliti
adalah pemetaan sosial. Dalam melakukan pemetaan peneliti berupaya untuk
bekerja holistik, terkontekstualisasi, menggunakan perspektif emik, serta
menggunakan perspektif yang bersifat tidak menyatakan pendapat (nonjudgemental orientation) atas
realitas yang diamati. Perspektif holistik berkenaan dengan asumsi bahwa
seorang peneliti harus memperoleh suatu gambaran yang lengkap dan komprehensif
tentang kelompok sosial yang diteliti. Dalam pengkontekstualisasian data meliputi
pengamatan ke dalam suatu perspektif yang lebih besar, misalnya dalam konteks
politik, sejarah, ekonomi.
Berkenaan dengan perspektif emik, maka peneliti dalam
mengumpulkan data akan berangkat dari pandangan masyarakat setempat, meski
tanpa harus mengabaikan analisis ilmiah si peneliti sendiri, sedangkan
orientasi nonjudgemental merupakan orientasi yang mendorong peneliti
mengadakan eksplorasi tanpa melakukan penilaian yang tidak sesuai dan tidak
perlu. Oleh karena itu peneliti harus berusaha untuk melihat budaya yang
berbeda dengan budaya dia berasal tanpa membuat penilaian tentang praktek-praktek
yang diamatinya itu. Dengan kata lain harus meninggalkan tindakan etnosentris.
A.3. Metodologi Penelitian
Berdasarkan tulisan Creswell (2010),
maka penelitian ini termasuk penelitian dengan pendekatan kualitatif dengan
strategi penelitiannya adalah analisis etnografi media
secara studi kasus. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha
mengungkapkan analisis etnografi
media yang terjadi dalam krisis manajemen pada tubuh Persatuan Sepakbola
Seluruh Indonesia (PSSI) pada tahun 2011 lalu. Dengan
fokus pada persoalan pemaknaan pesan yang terkandung di dalam berbagai pemberitaan media mengenai tema krisis
manajemen PSSI tersebut, dari hasil penelitian ini ingin diketahui bagaimana media memberikan peran
yang dalam mempengaruhi para penggunanya dalam menafsirkan suatu persoalan. Data primer dari penelitian ini sendiri adalah kumpulan pemberitaan yang muncul di
media yang berkaitan tentang krisis
manajemen pada tubuh Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang muncul
selama 3 (tiga) bulan tepatnya pada bulan April 2011 sampai dengan bulan Juni 2011 lalu. Dari kumpulan
data atas berita tersebut lalu diamati dan kemudian
dilakukan analisis sesuai metode yang digunakan yakni metode etnografi media.
B. PEMBAHASAN
B.1.
1001 Cerita Tentang PSSI
Persatuan Sepak Bola
Seluruh Indonesia, disingkat PSSI, awalnya bernama Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia. PSSI yang dibentuk pada tanggal 19 April 1930
di Yogyakarta adalah organisasi induk yang bertugas mengatur kegiatan olahraga sepak bola di Indonesia. Pendiri
sekaligus ketua umum pertamanya adalah Ir. Soeratin Sosrosoegondo. Sedangkan Ketua Umum PSSI saat ini, yaitu Nurdin Halid, namun kepemimpinannya dibekukan oleh FIFA dan saat ini
kepemimpinan PSSI dipimpin oleh Agum
Gumelar yang dipilih oleh Sepp Blatter sebagai Ketua Komite Normalisasi
di tubuh PSSI. PSSI bergabung dengan FIFA pada tahun 1952, kemudian dengan AFC pada tahun 1954.
PSSI menggelar
kompetisi Liga Indonesia setiap tahunnya, dan sejak tahun 2005, diadakan pula Piala Indonesia. Sebagai organisasi olahraga yang dilahirkan di
zaman penjajahan Belanda, kelahiran PSSI betapapun terkait dengan kegiatan politik menentang penjajahan. Jika
meneliti dan menganalisa saat-saat sebelum, selama dan sesudah kelahirannya, sampai 5 tahun pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, jelas sekali
bahwa PSSI lahir karena dibidani politisi
bangsa yang, baik secara langsung maupun tidak, menentang penjajahan dengan
strategi menyemai benih-benih nasionalisme di dada pemuda-pemuda Indonesia. Namun kini, sepertinya
benih-benih nasionalisme itu sudah luntur bahkan kemudian hilang entah kemana.
Sejak era Ir. Soeratin Sosrosoegondo
hingga Nurdin Halid, PSSI telah melakukan 14 kali pergantian ketua umum. Adapun
nama-nama mereka adalah sebagai berikut:
Semua permasalahan
di tubuh PSSI saat itu, ditengarai berawal dari keserakahan atas kekuasaan
seorang Nurdin Halid yang kemudian berkembang menjadi persoalan perebutan bursa
calon ketua umum PSSI yang baru. PSSI di masa
kepemimpinan Nurdin Halid memiliki beberapa hal yang dianggap kontroversi, antara lain
mudahnya Nurdin Halid memberikan ampunan atas pelanggaran, kukuhnya Nurdin
Halid sebagai ketua umum meski dia dipenjara, isu tidak sedap yang beredar pada masa
pemilihan ketua
umum tahun
2010, dan reaksi berlebihan atas diselenggarakannya Liga Primer Indonesia (LPI). Keserakahan itu dipahami karena memang sistem
menciptakannya demikian. Data nama-nama ketua umum PSSI di atas adalah bukti,
bila periode jabatan ketua umum PSSI tidak terbatas bahkan pernah hingga 10
tahun. Pasal 17 ayat (1) Statuta PSSI hanya
menyatakan, “Pengurus Pusat adalah badan/institusi kepemimpinan tertinggi
organisasi di tingkat pusat dengan masa
jabatan 4 (empat) tahun.” Tidak ada pengaturan tentang pembatasan mengenai berapa kali periode sang
ketua umum dapat berada di tampuk puncak kekuasaan. Tidak adanya peraturan yang
jelas inilah, membuat Nurdin Halid kemudian over
confidence untuk terus melanjutkan kepemimpinannya yang kacau balau meski
sudah 8 tahun menjabat. Hal inilah juga yang diduga menjadi titik tolak
gonjang-ganjing PSSI 2011 dan masih bergulir hingga kini.
B.2. Krisis
PSSI 2011 di Mata Media
Media memang tidak dapat
melepaskan diri dari berita sebagai salah satu genre besar yang ada, selain
olah raga, reality TV, dan sinetron/soap opera. Sosiolog Geye Tuchman, dalam
bukunya Making News (1978) menyatakan
bahwa berita merupakan konstruksi sosial terhadap realitas (Winarso, 2005:
153). Buku ini didasarkan pada pengamatan partisipan di ruang berita media dan
wawancara dengan orang-orang berita selama 10 tahun. Tindakan membuat berita,
kata Tuchman, merupakan tindakan mengkonstruksi realitas itu sendiri dari
sebuah gambaran realitasnya. Berita hanyalah institusi yang dilegitimasi dan
hal itu melegitimasi status quo. Tuchman juga menghubungkan profesionalisme
berita dan pengorganisasian berita dengan kemunculan kapitalisme korporasi. Ia
menyatakan bahwa berita adalah sebuah sumberdaya sosial yang mengkonstruksi
batas-batas suatu pemahaman analitik mengenai kehidupan masa kini.
Pemaparan teori ini untuk
menjelaskan latar belakang pemilihan berita yang dilakukan oleh media baik cetak maupun elektronik dalam melakukan kebijakan pemberitaan di
berbagai program berita mereka,
termasuk mengenai krisis PSSI 2011. Berdasarkan data dari berbagai
sumber, berikut ini merupakan tabel perkembangan peristiwa krisis PSSI 2011:
Tabel 1: Tabel Perkembangan Peristiwa Krisis PSSI
2011
Tanggal
|
Peristiwa
|
1 April 2011
|
FIFA memutuskan pembentukan Komite Normalisasi (KN) untuk mengambil alih
kepengurusan Nurdin Halid di PSSI. Keputusan ini dipublikasikan di situs
resmi FIFA pada tanggal 4 April 2011. Komite ini dipimpin oleh Agum Gumelar
dan dibantu tujuh anggota, yakni Djoko Drijono (CEO BLI), Hadi Rudiatmo
(Ketua Persis Solo), Sukawi Sutarip (Ketua Pengprov PSSI Jawa Tengah), Siti
Nuzanah (Direktur Arema), Samsul Ashar (Ketua Persik Kediri), H. Satim Sofyan
(Ketua Pengprov PSSI Banten), Dityo Pramono (Ketua PSPS Pekanbaru). Lima nama
terakhir merupakan anggota Kelompok 78.
FIFA juga melarang empat nama, yakni Nurdin Halid, Nirwan Bakrie, Arifin
Panigoro, dan George Toisutta untuk maju pada pemilihan pengurus PSSI.
Tugas KN:
·
Mengatur pelaksanaan pemilihan pengurus baru PSSI periode
2011-2015 paling lambat 21 Mei 2011.
·
Menempatkan Liga Primer Indonesia di bawah kendali PSSI
atau membubarkannya.
·
Menjalankan tugas keseharian PSSI.
|
11 April 2011
|
KN bertemu dengan pemilik suara PSSI yang mayoritas dihadiri Kelompok 78.
Kedua pihak sepakat untuk menggelar Pra Kongres pada 14 April 2011.
|
12 April 2011
|
Pendaftaran bakal calon Ketua Umum PSSI, Wakil Ketua Umum PSSI, dan
Anggota Komite Exco PSSI periode 2011-2015 resmi dibuka.
|
14 April 2011
|
Pertemuan dengan pemilik suara di Hotel Sultan, Jakarta berubah jadi
Kongres PSSI. Selain membentuk Komite Pemilihan (KP), kongres “dadakan” ini
juga membentuk Komite Banding Pemilihan (KBP).
|
19 April 2011
|
Ketua KN bertolak ke Zurich, Swiss menemui Presiden FIFA, Sepp Blatter.
Dalam pertemuan ini, Agum melaporkan hasil pertemuan dengan pemilik suara
pada 14 April 2011. Agum juga berusaha melobi FIFA agar tiga kandidat, Arifin
Panigoro, George Toisutta, dan Nirwan Bakrie diizinkan mengikuti pemilihan
pengurus PSSI periode 2011-2015.
|
21 April 2011
|
FIFA mengirim surat kepada KN. Dalam suratnya, FIFA menegaskan agar
Nurdin Halid, Arifin Panigoro, George Toisutta, dan Nirwan Bakrie tidak
diperkenankan maju pada bursa pemilihan PSSI. FIFA juga tidak mengakui KP
yang dibentuk pada pertemuan 14 April 2011. Sedangkan KBP yang terdiri atas
Umuh Muchtar, Ahmad Riyadh dan RioDanamore tetap diperkenankan menjalankan
tugasnya. Keputusan ini langsung menuai protes dari kubu Arifin Panigoro dan
George Toisutta.
|
23 April 2011
|
Pendaftaran bakal calon Ketua Umum PSSI, Wakil Ketua Umum PSSI dan
Anggota Exco PSSI periode 2011-2015 resmi ditutup. Meski dilarang FIFA, kubu
Arifin Panigoro dan George Toisutta tetap menyerahkan berkas pendaftarannya
ke sekretariat PSSI.
|
29 April 2011
|
KN yang juga berfungsi sebagai KP mengumumkan hasil verifikasi terhadap
bakal calon pengurus PSSI 2011-2015. KN menolak memverifikasi berkas
pendaftaran Arifin Panigoro dan George Toisutta.
|
3 Mei 2011
|
Pendukung Arifin Panigoro dan George Toisutta menggelar demontrasi di
depan kantor KONI. Mereka memprotes keputusan KN yang menolak pencalonan
kedua kandidat tersebut.
|
5 Mei 2011
|
Ketua KBP, Ahmad Riyadh mengaku telah menerima berkas banding Arifin
Panigoro dan George Toisutta. Pihaknya berniat memprosesnya bersama berkas
lainnya mulai 9 Mei 2011.
|
6 Mei 2011
|
FIFA melarang Arifin Panigoro dan George Toisutta mengajukan banding.
FIFA bahkan mengancam akan menjatuhkan sanksi kepada Indonesia bila tetap
memproses banding kedua kandidat tersebut.
|
9 Mei 2011
|
Kelompok 78 yang diwakili Wisnu Wardana, Usman Fakaubun, Hadiyandra,
Imron Abdul Fatah, dan Sarluhut Napitupulu meminta Agum Gumelar mundur dari
jabatannya sebagai Ketua KN. Mereka juga mengancam mengubah Kongres PSSI 20
Mei 2011 menjadi ajang untuk melengserkan Agum.
|
12 Mei 2011
|
KBP akhirnya mengabulkan banding Arifin Panigoro dan George Toisutta.
Keduanya dianggap boleh mencalonkan diri saat Kongres PSSI 20 Mei 2011. FIFA
menyetujui usulan reshuffle KN. FIFA akhirnya mengganti lima anggota KN,
yakni Sukawi Sutarip, Siti Nizanah, Samsul Ashar, Satim Sofyan, dan Dityo
Pramono. Mereka digantikan oleh Rendra Krisna (Presiden Kehormatan Arema FC),
Sumaryoto (Mantan Ketua Pengprov PSSI Jawa Tengah), Baryadi (Ketua Pengprov
PSSI Sumatera Selatan), dan Sinyo Aliandoe (Mantan Pelatih Timnas Indonesia).
|
20 Mei 2011
|
Kongres PSSI yang dilaksanakan di ruang kongres, Ballroom Hotel
Sultan, Senayan bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional, 20
Mei 2011 berakhir kisruh. Ketua
Komite Normalisasi, sekaligus pimpinan sidang, Agum Gumelar terpaksa menutup
kongres tanpa menghasilkan keputusan apapun, lantaran para peserta tak bosan
melontarkan interupsi. Praktis, pemilihan Ketua Umum, Wakil Ketua Umum, serta Anggota Komite Exco PSSI periode 2011-2015, gagal
dilaksanakan.
|
17 Juni 2011
|
Kedatangan Wakil Presiden FIFA, Ali bin
Al Hussein ke Indonesia membawa angin segar untuk sebuah solusi kisruh PSSI.
Pangeran dari Yordania itu telah bertemu dengan semua pihak yang ikut
terlibat dalam pertikaian pemilihan kepengurusan PSSI. Al Hussein telah
berbicara dengan George Toisutta dan Arifin Panigoro serta kelompok pendukung
Kelompok 78 serta Ketua Komite Normalisasi PSSI Agum Gumelar dan Menteri
Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng.
|
Dari tabel di atas terlihat babak baru
dari krisis PSSI 2011. Bila awalnya adalah munculnya kemuakan pecinta sepak
bola Indonesia terhadap Nurdin Halid usai kekalahan Tim Garuda Indonesia di
ajang AFC. Namun usai Nurdin Halid sukses digulingkan, muncul krisis
berikutnya, yakni perebutan tahta ketua umum PSSI periode 2011-2015. Komite Normalisasi telah mengumumkan daftar
nama calon yang lolos, dan diantara 18 nama itu, ada nama yang telah
diputuskan FIFA tak boleh lagi ikut pencalonan dinyatakan tak lolos. Berikut ini daftar nama calon Ketua Umum PSSI
2011-2015 yang dikeluarkan oleh Komite Normalisasi:
1.
Adhan Dambea
2.
Adhyaksa Dault
3.
Diza Rayid Ali
4.
Djohar Arifin Husin
5.
Wahidin Halim
6.
George Toisutta (tidak lolos)
7.
Agusman Effendi
8.
Syarif Bastaman
9.
Oesman Sapta Erwin Aksa
10. Mohammad Syaharuddin
11. P Sudono Waluyanto
12. Sukimin
13. Yesaya Buinei
14. Arifin Panigoro (tidak lolos)
15. Muhidjar
16. Rahim Soekasah
17. Nirwan Bakrie (tidak lolos)
18. Joko Driyono (tidak lolos)
Nyatanya cukup banyak nama yang muncul
sebagai calon Ketua Umum PSSI 2011-2015 untuk menggantikan Nurdin Halid. Namun
dari 18 nama di atas, bila kita melek terhadap media, hanya beberapa nama saja
yang terus-menerus disebut. Dan kebetulan nama-nama tersebut adalah mereka yang
dinyatakan tidak lolos oleh FIFA. Mereka adalah George Toisutta, Arifin
Panigoro, dan Nirwan Bakrie.
Dari gambar kartun di atas, kita dapat
memaknai bahwa media seringkali bersikap kritis atas permasalahan yang ada di
tubuh PSSI. Namun, seperti yang dijelaskan di awal tulisan ini, sekritis apapun
sentilan yang dilontarkan oleh media, sikap homo
ludens masyarakat Indonesia nyatanya tetap tampak dalam gonjang-ganjing
PSSI 2011. Masyarakat awam yang melihat kekisruhan PSSI tampaknya sudah jengah bahkan
tidak peduli dengan apa yang terjadi. Diam namun mengamini bahwa semua yang
terjadi di bursa pemilihan Ketua Umum PSSI tak akan pernah lepas dari money politics. Begitu pula dengan mereka
yang terlibat langsung dalam proses pemilihan Ketua Umum PSSI tersebut.
Berteriak atas nama rakyat dan upaya perbaikan persepakbolaan negeri, namun di
sisi lain, tentu ada bagian (baca: uang) yang ikut diperjuangkan untuk masuk ke
dalam kantong masing-masing pemilik suara.
Rasa miris memang kerap melanda nurani kita saat melihat gonjang-ganjing PSSI yang tak kunjung usai. Optimisme
yang sempat muncul untuk Kongres PSSI yang dilaksanakan di Solo, Jawa Tengah pada 9 Juli 2011 lalu
yang diharapkan sukses.
Harus selalu ada di sanubari rakyat Indonesia dan para pencinta sepakbola pada
khususnya. Bila kongres berjalan lancar, berarti kepengurusan PSSI akan
terbentuk sehingga PSSI tidak lagi hanya berkutat pada silang sengketa
kursi kepemimpinan. Kita tentunya rindu melihat PSSI mampu mengukir prestasi di ajang sepakbola ASEAN,
Asia dan bahkan dunia. Kita mampu untuk itu. Kuncinya adalah pengurus PSSI yang
terbentuk benar-benar orang yang ingin memajukan persepakbolaan nasional, bukan
yang menjadikan PSSI tunggangan untuk kepentingan kelompoknya saja. Bukan yang hanya menganggap bahwa sepak bola
Indonesia sekedar arena bermain karena mereka adalah homo ludens seperti yang dikatakan Reid untuk makin mengukuhkan
mitos “kesantaian” bangsa ini dalam menghadapi setiap masalah yang ada.
C.
PENUTUP
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dari hasil penelitian ini dipahami bahwa media memberikan peran yang sangat vital dalam
mempengaruhi para penggunanya dalam menafsirkan suatu persoalan. Mulai dari
efek kognitif (pengetahuan), efek afektif (emosi), dan efek behavioral (sikap),
kesemuanya menuntun komunikan media untuk mencerna kondisi krisis manajemen
yang tengah dialami oleh PSSI kala itu. Media ikut menjadi perumus pemaknaan, dan pada akhirnya penilaian
terakhir komunikan media akan kembali pada aspek kepentingan siapa yang dibela.
Dipahami bahwa, persoalan sepakbola di tanah air bukan sekedar permainan
menendang bola, namun lebih jauh dari itu, ini dapat dijadikan perebutan
kekuasaan yang lebih sarkastik di ranah sosial politik.
Daftar Pustaka
Adi, Tri Nugroho.
20 Agustus 2011. Etnografi Dalam Komunikasi. https://sinaukomunikasi.wordpress.com/2011/08/20/etnografi-dalam-komunikasi/.
Diakses tanggal 4 Januari 2015.
Anonim. “Daftar
Nama Bakal Calon Ketua Umum PSSI 2011-2015”. http://www.blogg3r.co.cc/2011/04/daftar-nama-bakal-calon-ketua-umum-pssi.html. Diakses tanggal 16 Juni 2011.
Anonim.
“Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia”, http://id.wikipedia.org/wiki/Persatuan_Sepak_Bola_Seluruh_Indonesia. Diakses tanggal 16 Juni 2011.
Anonim. 13 Mei
2011. “Kronologi Kasus PSSI Jilid II.” http://pasarumum.com/kronologi-kasus-pssi-jilid-ii/. Diakses tanggal 16 Juni 2011.
Cresswell, John W. 2010. Research
Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif,
dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nunk. 26 Mei
2011. “Karikatur Kisruh Kongres PSSI 2011.” http://kartunmania.com/2011/05/karikatur-kisruh-kongres-pssi-2011/. Diakses tanggal 16 Juni 2011.
Reid, Anthony.
2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga
1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Winarso,
Heru Puji. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa.
Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Catatan: Artikel di atas sudah dimuat dalam Jurnal Ilmu Komunikasi "PUBLISITAS" Volume 5, Nomor 5, November 2015 dengan Penerbit STISIPOL Candradimuka Palembang